"Aku
kesini hanya untuk meminta
maaf Sam," jawab Egi.
"Apakah
setelah kamu mengusirku dengan seenaknya aku dapat memaafkanmu dengan mudah?
Mudah bagimu untuk meminta, tapi, aku, berat untuk memaafkanmu atas kejadian
yang kau perbuat tempo hari.”
"Aku
khilaf Sam. Saat itu aku diperdaya oleh Cyintia dan Adhit. Aku baru sadar,
ternyata mereka hanya mengincar hartaku. Jika jadinya seperti ini, mending aku
menolak ajakan Prof. Ikhwan Sam. Aku menyesal Sam," kata Egi yang saat itu
berlinang air mata menyesali perbuatannya.
Suara
petir mengelegar bersaut-sautan ditemani rintik-rintik air hujan yang seakan tahu apa yang
sedang terjadi dengan kedua insan tersebut. Suara jam yang berdentang sembilan
kali ikut menemani suara Egi yang terus membujuk Sam untuk memaafkanya,
kejadian yang membuat persahabatan mereka terhenti. Kejadian itu berawal ketika
mereka mengikuti ekspedisi ke pedalaman Kalimantan untuk meneliti jejak-jejak
yang ditinggalkan Kerajaan Kutai.
"Gi…, aku lulus tes...,” teriak Sam
sambil berlari mendekati Egi.
"Oh
ya?" celetuk Egi tanpa menoleh ke arah Sam sambil menghabiskan bulatan
terakhir dari baksonya.
"Kamu
itu kebiasaan kalau diajak ngobrol
nggak pernah melihat ke lawan bicara."
"Ya,
maaf, Sam. Habis, kebiasaan sih. Oh
ya, selamatya Sam, kalau begitu kita dapat ekspedisi bareng-bareng dong."
"Eh
kamu ikut audisi ya Gi?" tanya Sam.
"Nggak
kok Sam. Aku disuruh Prof. Ikhwan untuk jadi asisten buat ekspedisi ini.
Niatnya sih nggak ingin ikut, tapi,
kalau tau kamu juga ikut, aku, ikut juga lah,"
ujar Egi.
"Ya
sudah, kalau begitu. Aku duluan ya...”
"Kok
cepat-cepat sih pulangnya?”
"Iya
nih. Aku masih harus mempersiapkan barang-barang buat ekspedisi lusa.”
"Ya
sudah sana kalau mau pergi. Aku masih ada acara di Kampus.”
"Duluan
ya...," kata Sam sambil berlari meninggalkan Egi yang masih meminum Ice lemon tea-nya.
Hari
ekspedisi pun tiba. Egi, Sam, dan Prof. Ikhwan terbang dari Jakarta menuju
Samarinda. Setelah sampai, mereka lalu
menginap di Hotel berbintang tiga. Keesokan harinya mereka memulai perjalanan
mereka walau gerimis melanda Samarinda. Mereka melakukan ekspedisi ditemani Pak
Bahar, seorang pemandu.
Setelah
dua hari menjelajah hutan, mereka malah tersesat.
"Maaf
saudara-saudara, kelihatanya kita tersesat,” kata Pak Bahar dengan logat
Dayaknya. Memang sih, Pak bahar memiliki sedikit darah Dayang yang diturunkan
dari ayahnya.
"Pak
Bahar, gimana sih ini?" kata Prof. Ikhwan dengan nada sedikit marah.
”Ya maaf
Pak. Soalnya GPS yang saya bawa konslet. Saya juga lupa membawa kompas” kata
Pak Bahar.
”Ya sudah,
dari pada bertengkar mending kita kesana saja. Kelihatanya disana ada sungai.
Soalnya saya mendengar suara gemercik air,” saran Egi sambil menunjuk ke arah
semak belukar.
”Oke kalau
begitu. Saya juga sudah haus,” kata Prof. Ikhwan.
Mereka
lalu menuju ke arah suara gemercik air.
”Aduh...
batu sialan...” teriak
Egi.
”Ada apa
Gi?”kata Sam sambil menghampiri Egi.
”Ini lho
Sam, batu sialan ini, nggak punya mata
kali ya...,” kata Sam
sambil meringis menahan sakit. Memang, batu yang ditendang Egi cukup besar,
sebesar semangka. Lho???
”Kamu itu gila
apa-apa ya? Masak batu punya
mata? Eh kok ada yang aneh ya dengan batu ini?” kata Sam
sambil menunjuk ke arah batu.
”Aneh
apanya? Batu ya tetap batu. Mana ada batu yang istimewa?” kata Egi
yang jengkel dengan Sam entah karena apa.
”Ini lho,
kok ada ukiran-ukiran aneh?” kata Sam
sambil memindahkan batu.
”Eh, iya, ya. Coba
saja tanya ke Prof. Ikhwan!” suruh Egi yang mulai bangkit.
”Prof..., coba ke
sini dong!” teriak Sam.
Mendengar
pangilan Sam, Prof. Ikhwan spontan bangun dan mendekati Sam dan Egi. ”Ada apa
Sam? Kok teriak-teriak. Kelihatanya ada yang penting?”
”Ada apa
Sam?” tanya
Prof. Ikhwan lagi.
”Ini lho
Prof.” kata Egi
sambil menunjuk ke arah ukiran-ukiran di batu.
Lalu Prof.
Ikhwan pun meneliti batu tersebut dengan mengambil peralatan arkeologinya.
”Kalau dilihat dari ukiran-ukirannya, batu ini seperti sebuah prasasti. Pak
Bahar, apakah dulu di sekitar sini pernah ditemukan prasasti?” kata pak
bahar sambil berdiri.
”Iy, iya, Pak. Dulu memang pernah ditemukan batu yang hampir sama dengan yang
ditemukan nak Egi. Dan
setelah diteliti ternyata batu tersebut prasasti peninggalan Kerajaan Kutai,”
kata Pak Bahar
yang terbata-bata manjawab pertanyaan dari Prof. Ikhwan.
”Oh ya?..,
kalau begitu, selamat ya nak Sam. Kamu telah
menemukan prasasti,” kata Prof. Ikhwan sambil menepuk pundak Sam.
Sontak
saja Sam yang dikira telah menemukan prasasti tersebut mengelak. ”Oh, maaf
Prof, bukan saya yang menemukan prasasti tersebut, tapi, Egi,” kata Sam sambil
melirik ke arah Egi.
”Oh ya…?”
”Hehehehe...,
iya Prof. Saya yang telah menemukan prasasti tersebut, walaupun awalnya saya nggak suka sama batu tersebut,” kata Egi
sambil meringis. Bukan karena menahan sakit, tapi, kali ini karena Prof. Ikhwan
salah menyebutkan nama. Masa orang yang bergerar Profesor bisa salah. Maklum lah. Namanya juga manusia, pasti bisa
salah. Katanya dalam hati.
”Kalau
begitu maaf ya nak Egi,” kata Prof.
Ikhwan yang wajahnya memerah kecut seperti tomat yang hendak disambal.
”Ya sudah kalau begitu. Mending kita bawa batu ini, maksud saya prasasti
ini ke Pusat Arkeologi,” saran Pak Bahar.
”Bagaimana mau ke sana pak? Jalan pulang sja lupa?”gerutu Sam.
”O…, kita susuri saja sungai ini. Saya tahu tembusan dari sungai ini.”
”Oh ya kalau begitu,” jawab Sam.
Lalu mereka mengikuti instruksi Pak Bahar dan membawa prsasti tersebut.
Semak belukar, batu licin, dan jalan terjal adalah hadangan bagi mereka.
Setelah sehari berjalan, sapailah mereka di sebuah perkampungan. Atas inisiatif
Pak Bahar, mereka meminjam HP dari penduduk setempat untuk menghubungi Pak
Kina, Teman Pak Bahar di Badan Arkeologi Kutai untuk menjemputnya.
”Terima kasih Pak Kina, Atas tumpangannya,” kata Prof. Ikhwan.
”Sama-sama Prof. Saya juga senang membantu anda,” kata Pak Kina sambil
membetulkan ikat pinggangnya.
”Pak…, Pak…, tolong bawa ini ke kantor! Sekalian panggilkan Pak Bambang,
saya tunggu di ruang tunggu,” suruh
Prof. Ikhwan kepada humas di kantor.
”Iya pak. Ngomong-ngomong bapak ini siapa ya?” tanya humas yang masih
terbingung-bingung dengan datangnya seseorang yang memakai pakaian rapi.
”Kenalkan, saya Prof. Ikhwan. Dan ini Egi dan Sam. Egi ini orang yang
menemukan prasasti di hutan,” kata Prof. Ikhwan sambil mengenalkan Egi dan Sam.
”O…, Egi yang itu to.”
”Iya pak,” kata Egi sambil cengigisan memperlihatkan giginya yang masih
ada sisa-sisa cabai yang tersela di giginya.
” Ya sudah. Meet and greet-nya sudahan. Sana cepat panggilkan.”
Sesudah menunggu lama, akhirnya mreka bertemu dengan Pak Bambang di ruang
tamu.
”Ya sudah kalau begitu. Nanti kalau sudah selesai menelitinya saya
kabarin. Sebagai balas jasanya saya kasih cek. Kamu maunya berapa?” kata Pak
Bambang sambil mengambil cek di laci kantornya.
”Ya…, terserah lah. Yang penting cukup saja,” kata Egi yang terkejut
dengan omongan Pak Bambang.
”Ya sudah kalau begitu saya kasih 10 M saja ya!”
”Apa…?” kata Egi sambil menghitung bulatan-bulatan yang ditulis Pak
Bambang. Memang, Egi belum pernah mendapatkan uang sebanyak itu.
Sesudah mendapatkan uang itu, Egi langsung membaginya kepada Prof. Ikhwan
dan Sam.
”Sam, besok antakan aku ke kantor pemasaran Podorene, eh salah, Podomrono
eh salah, ah apalah itu ya.”
”Podomoro maksutmu? Emangnya kamu mau beli rumah apa? Mahal lo kalau beli
di sana!”
”O…, ya itu maksudku. Bodo ah.
Kan aku kaya mendadak.”
”Hus, kamu itu, ya besok kalau aku lagi tidak ada job.”
”Kamu tu kaya orang sibuk saja.”
”Biasalah.”
Mereka
lalu menyegat taksi. Karena tidak tahu tempatnya, mereka hanya memutar-mutar
keliling Jakarta. Entah sampai berapa angka di agro taksi, mereka tidak
menghitungnya. Sesudah sampai, mereka malah bingung. Bukan karena tidak punya
uang, tapi, karena bingung mau membeli rumah jenis apa. Akhirnya, mereka
memutuskan untuk membeli rumah dengan tipe paling mewah, paling elegan, dan
tentunya paling mahal.
”Sam,
tolong bawa kursi ini ke ruang tamu,” suruh Egi dengan wajah singa siap untuk
menerkam.
”Berat ini
bos.”
”Boleh
kami bantu? Kelihatanya kalian dalam masalah. Oh iya, sebelumya kenalin gue. Adhitya, dan ini temen gue Cyintia,” kata dua orang yang berpakaian layaknya pangeran dan
putri di negeri dongeng, tapi, kali ini berbeda. Mereka berbicara dengan gaya
yang sedikit berbeda.
”Ya boleh.
Saya Egi, dan yang ini Sam,” kata Egi sambil memperkenalkan dirinya dan Sam.
Sesudah
itu, mereka ngobrol ke sana-ke sini.
Lama kelaman, mereka semakin akrab dan mereka sering pergi liburan bersama. Dan
ternyata, Egi menaruh hati pada Cyintia, tapi belum dikatakan. Egi selalu
menututi apapun yang dikatakan Cyintia. Entah disuruh mengantarkanya, hingga
membelikan barang-barang yang mahal.
”Entar malam anterin aku ke klub ya...! Gue
lagi stres nih,” suruh Cyintia.
”Ya, ntar gue anterin loe,” kata Egi dengan logat barunya.
Siang pun
berlalu, berganti dengan malam. Sang surya bergati shift dengan sang rembulan untuk menerangi bumi. Disaat itu pula,
meluncurlah Egi dan Cyintia ke sebuah klub malam terkenal di kawasan Bintaro.
”Gi, cobain deh, permen ini. Enak lo,” kata
Cyintia sambil memberikan bungkusan obat yang seperti permen.
Egi
mudah-mudah saja menerima itu, karena itu permintaan dari wanita yang
diidamkanya. ”Kok pada muter-muter sendiri ya?” gerutu Egi.
”Itu
karena loe kebanyakan makan permen. Nih, minum dulu,” kata Cyintia sambil
memberikan gelas yang berisi air.
”Kok asam? Tapi,
enak sih, minta lagi dong!”
Egi terus,
dan terus meminum air yang ternyata Whisky,
dan memakan permen yang ternyata ekstasi.
Mereka
pulang tepat saat ayam jago pertama
berkokok. Egi pulang dengan bau dan gaya khas orang habis mabuk. Kejadian
tersebut berulang-ulang. Hal tersebut merubah sifat dan perilaku Egi yang
tadinya pendiam dan sederhana menjadi glamor dan bermewah-mewah.
Pernah Sam
menasehatinya. Tapi, bukanya berubah, malah menjadi-jadi kelakuannya. Tapi,
kali ini Sam membulatkan tekatnya , walaupun itu harus mengorbankan dirinya.
”Gi,
sebaiknya kamu meninggalkan Cyintia dan Adhit. Aku tahu, kamu cinta sama
Cyintia. Ini demi kebaikanmu,” kata Sam.
”Apa
urusanya sama loe? Ini kan hidup gue.”
”Tapi,
sejak kamu bergaul dengan mereka hidupmu jadi berubah.”
Tit...
Tit... Tit.... Hp Egi pun berdering. Ternyata, itu sms dari Cyintia. Sms
tersebut berisi agar Egi mengusir Sam. Demi dirinya.
”Ya sudah
kalau begitu. Mungkin, kita tak sependapat lagi. Lebih baik loe pergi saja dari sini.”
”Ya sudah
kalau itu maumu. Aku ikuin saja.”
Dengan
segudang kekecewaan, ditambah sekilo kesedihan, Sam pergi meninggalkan sahabat
baiknya, walaupun masih ada rasa mangkel di
hatinya. Dia mencoba untuk tabah. Entah, dia harus pergi ke mana. Akhirnya, Sam
memutuskan untuk pergi, atau kata yang paling tepatnya pulang. Ya, pulang ke
rumah aslinya, rumah lamanya.
Disaat
yang bersamaan, Egi diajak Cyintia dan Adhit ke klub seperti biasa. Tapi, kali
ini ada yang berbeda dengan siakp Cyintia dan Adhit yang lebih baik.
”Tambah
lagi coy..., ” kata Egi.
”Ya, tapi,
jika kamu mau tandatangani ini.”
”Mana yang
harus ditandatangani? Gue nggak tahan
lagi nih....”
”Di sini.”
Setelah
minum cukup banyak, Egi dibawa Cyintia ke hotel. Sementara itu, Cyintia dan
Adhit pulang ke rumah Egi. Dia bingung ketika sadar ia sudah berada di kamar
yang ternyata kamar hotel. Lalu ia pulang.
”Pak...,pak...,
anda dilarang masuk oleh non Cyintia”
suruh satpam di rumah Egi.
”Non...?” kata Egi. Egi yang masih
bingung mencoba menerobos barikade satpam dam membuka pintu
Alangkah kagetnya Egi ketika dia membuka pintu terpampang kedua teman
barunya tersebut sedang bermesraan di atas sofa.
”Cyinti? …, Adhit? … ngapain kalian di sini? Inikan rumahku!”
”Rumahmu? Itukan dulu. Sekarang semua aset yang kamu miliki telah menjadi
miliku. Kan kamu yang memberikannya padaku semalam.”
”Oh ya? Berarti selama ini, kalian hanya mengincar hartaku? Dasar licik.
Aku kira kamu orang yang baik dan membuatku suka padamu. Ternyata, kalian sama
buruknya dengan koruptor. Aku salah telah mengusir Sam.”
”Hellooo? Inikan Jakarta.
Takkan ada orang yang mau berteman sama kamu yang kampungan. Dan loe pikir gue suka sama loe? Mimpi
kali ya. Mending kamu sekarang pergi dari sini, atau, aku panggilkan satpam
untuk mengusir loe.”
”Tidak usah. Aku sudah muak dengan kalian.”
”Ya sudah sana pergi!”
Egi pergi dengan beribu penyesalan, entah itu dari kekecewaan atas
kelakuan Cyintia dan Adhit, atau karena menyesal telah mengusir Sam. Menyesal,
marah, kecewa, atau apalah itu yang membuat Egi bingung. Kemana, kemana, dan
kemana. Itulah lagu yang tepat untuk Egi yang tidak tahu mau pergi ke mana.
Tapi, ada satu tempat yang dia ingin tuju, rumah lamanya, rumah yang telah
membesarkannya. Dia berharap, Sam ada di rumah tersebut.
”Apa kamu masih bertahan dengan pendirianmu? Aku menyesal Sam. Entah
dengan apa agar kau mempercayaiku lagi. Aku khilaf Sam. Aku menyesal Sam.”
suara Egi memecah keheningan di rumah tersebut. Khilaf dan menyesal. Itulah
kata yang terus diucapkan Egi agar Sam percaya. Entah berapa kali Egi
mengucapkan kata tersebut.
Tanpa tak terduga, Sam memeluk Egi yang masih dibanjiri dengan air mata.
”Tak perlu kamu begitu. Aku tadi hanya bercanda. Kau tetaplah temanku,
sahabatku, saudaraku, atau apalah itu. Walaupun kau telah mengusirku, kau
tetaplah sahabat baiku. Aku percaya, bahwa yang kau lakukan tempo hari hanya
karena tipu muslihat Cyintia danAdhitya.”
”Terima kasih Sam, kau telah mempercayaiku.”
Tit...
Tit... Tit.... hp Egi pun berdering.
Ternyata sms dari Prof. Ikhwan. Ternyata, isinya tentang isi dari prasasti. Isinya
adalah: bahwa teman sejati, tidak dapat diganti dengan harta, pangkat atau pun wanita.
Teman sejati takkan meninggalkan
temannya, walapun dalam keadaan sulit.
0 komentar:
Posting Komentar