Welcome To My Blog, Don't Forget To Follow My Twitter.
Unknown


danbo12.jpg"Mengapa kamu kesini lagi? Bukankah kamu telah mengusirku?" teriaknya.
"Aku kesini hanya untuk meminta maaf Sam," jawab Egi.
"Apakah setelah kamu mengusirku dengan seenaknya aku dapat memaafkanmu dengan mudah? Mudah bagimu untuk meminta, tapi, aku, berat untuk memaafkanmu atas kejadian yang kau perbuat tempo hari.”
"Aku khilaf Sam. Saat itu aku diperdaya oleh Cyintia dan Adhit. Aku baru sadar, ternyata mereka hanya mengincar hartaku. Jika jadinya seperti ini, mending aku menolak ajakan Prof. Ikhwan Sam. Aku menyesal Sam," kata Egi yang saat itu berlinang air mata menyesali perbuatannya.
Suara petir mengelegar bersaut-sautan ditemani rintik-rintik air hujan yang seakan tahu apa yang sedang terjadi dengan kedua insan tersebut. Suara jam yang berdentang sembilan kali ikut menemani suara Egi yang terus membujuk Sam untuk memaafkanya, kejadian yang membuat persahabatan mereka terhenti. Kejadian itu berawal ketika mereka mengikuti ekspedisi ke pedalaman Kalimantan untuk meneliti jejak-jejak yang ditinggalkan Kerajaan Kutai.
"Gi…, aku lulus tes..., teriak Sam sambil berlari mendekati Egi.
"Oh ya?" celetuk Egi tanpa menoleh ke arah Sam sambil menghabiskan bulatan terakhir dari baksonya.
"Kamu itu kebiasaan kalau diajak ngobrol nggak pernah melihat ke lawan bicara."
"Ya, maaf, Sam. Habis, kebiasaan sih. Oh ya, selamatya Sam, kalau begitu kita dapat ekspedisi bareng-bareng dong."
"Eh kamu ikut audisi ya Gi?" tanya Sam.
"Nggak kok Sam. Aku disuruh Prof. Ikhwan untuk jadi asisten buat ekspedisi ini. Niatnya sih nggak ingin ikut, tapi, kalau tau kamu juga ikut, aku, ikut juga lah," ujar Egi.
"Ya sudah, kalau begitu. Aku duluan ya...”
"Kok cepat-cepat sih pulangnya?”
"Iya nih. Aku masih harus mempersiapkan barang-barang buat ekspedisi lusa.”
"Ya sudah sana kalau mau pergi. Aku masih ada acara di Kampus.”
"Duluan ya...," kata Sam sambil berlari meninggalkan Egi yang masih meminum Ice lemon tea-nya.
Hari ekspedisi pun tiba. Egi, Sam, dan Prof. Ikhwan terbang dari Jakarta menuju Samarinda.  Setelah sampai, mereka lalu menginap di Hotel berbintang tiga. Keesokan harinya mereka memulai perjalanan mereka walau gerimis melanda Samarinda. Mereka melakukan ekspedisi ditemani Pak Bahar, seorang pemandu.
Setelah dua hari menjelajah hutan, mereka malah tersesat.
"Maaf saudara-saudara, kelihatanya kita tersesat,” kata Pak Bahar dengan logat Dayaknya. Memang sih, Pak bahar memiliki sedikit darah Dayang yang diturunkan dari ayahnya.
"Pak Bahar, gimana sih ini?" kata Prof. Ikhwan dengan nada sedikit marah.
”Ya maaf Pak. Soalnya GPS yang saya bawa konslet. Saya juga lupa membawa kompas” kata Pak Bahar.
”Ya sudah, dari pada bertengkar mending kita kesana saja. Kelihatanya disana ada sungai. Soalnya saya mendengar suara gemercik air,” saran Egi sambil menunjuk ke arah semak belukar.
”Oke kalau begitu. Saya juga sudah haus,” kata Prof. Ikhwan.
Mereka lalu menuju ke arah suara gemercik air.
”Aduh... batu sialan...” teriak Egi.
”Ada apa Gi?”kata Sam sambil menghampiri Egi.
”Ini lho Sam, batu sialan ini, nggak punya mata kali ya..., kata Sam sambil meringis menahan sakit. Memang, batu yang ditendang Egi cukup besar, sebesar semangka. Lho???
”Kamu itu gila apa-apa ya? Masak batu punya mata? Eh kok ada yang aneh ya dengan batu ini?” kata Sam sambil menunjuk ke arah batu.
”Aneh apanya? Batu ya tetap batu. Mana ada batu yang istimewa?kata Egi yang jengkel dengan Sam entah karena apa.
”Ini lho, kok ada ukiran-ukiran aneh?” kata Sam sambil memindahkan batu.
Eh, iya, ya. Coba saja tanya ke Prof. Ikhwan!” suruh Egi yang mulai bangkit.
”Prof..., coba ke sini dong!” teriak Sam.
Mendengar pangilan Sam, Prof. Ikhwan spontan bangun dan mendekati Sam dan Egi. ”Ada apa Sam? Kok teriak-teriak. Kelihatanya ada yang penting?”
”Ada apa Sam?” tanya Prof. Ikhwan lagi.
”Ini lho Prof.” kata Egi sambil menunjuk ke arah ukiran-ukiran di batu.
Lalu Prof. Ikhwan pun meneliti batu tersebut dengan mengambil peralatan arkeologinya. ”Kalau dilihat dari ukiran-ukirannya, batu ini seperti sebuah prasasti. Pak Bahar, apakah dulu di sekitar sini pernah ditemukan prasasti?” kata pak bahar sambil berdiri.
”Iy, iya, Pak. Dulu memang pernah ditemukan batu yang hampir sama dengan yang ditemukan nak Egi. Dan setelah diteliti ternyata batu tersebut prasasti peninggalan Kerajaan Kutai,” kata Pak Bahar yang terbata-bata manjawab pertanyaan dari Prof. Ikhwan.
”Oh ya?.., kalau begitu, selamat ya nak Sam. Kamu telah  menemukan prasasti,” kata Prof. Ikhwan sambil menepuk pundak Sam.
Sontak saja Sam yang dikira telah menemukan prasasti tersebut mengelak. ”Oh, maaf Prof, bukan saya yang menemukan prasasti tersebut, tapi, Egi,” kata Sam sambil melirik ke arah Egi.
”Oh ya…?
”Hehehehe..., iya Prof. Saya yang telah menemukan prasasti tersebut, walaupun awalnya saya nggak suka sama batu tersebut,” kata Egi sambil meringis. Bukan karena menahan sakit, tapi, kali ini karena Prof. Ikhwan salah menyebutkan nama. Masa orang yang bergerar Profesor bisa salah. Maklum lah. Namanya juga manusia, pasti bisa salah. Katanya dalam hati.
”Kalau begitu maaf ya nak Egi,” kata Prof. Ikhwan yang wajahnya memerah kecut seperti tomat yang hendak disambal.
”Ah, nggak papa lah. Namanya juga manusia.”
”Ya sudah kalau begitu. Mending kita bawa batu ini, maksud saya prasasti ini ke Pusat Arkeologi,” saran Pak Bahar.
”Bagaimana mau ke sana pak? Jalan pulang sja lupa?”gerutu Sam.
”O…, kita susuri saja sungai ini. Saya tahu tembusan dari sungai ini.”
”Oh ya kalau begitu,” jawab Sam.
Lalu mereka mengikuti instruksi Pak Bahar dan membawa prsasti tersebut. Semak belukar, batu licin, dan jalan terjal adalah hadangan bagi mereka. Setelah sehari berjalan, sapailah mereka di sebuah perkampungan. Atas inisiatif Pak Bahar, mereka meminjam HP dari penduduk setempat untuk menghubungi Pak Kina, Teman Pak Bahar di Badan Arkeologi Kutai untuk menjemputnya.
”Terima kasih Pak Kina, Atas tumpangannya,” kata Prof. Ikhwan.
”Sama-sama Prof. Saya juga senang membantu anda,” kata Pak Kina sambil membetulkan ikat pinggangnya.
”Pak…, Pak…, tolong bawa ini ke kantor! Sekalian panggilkan Pak Bambang, saya tunggu di ruang tunggu,”  suruh Prof. Ikhwan kepada humas di kantor.
”Iya pak. Ngomong-ngomong bapak ini siapa ya?” tanya humas yang masih terbingung-bingung dengan datangnya seseorang yang memakai pakaian rapi.
”Kenalkan, saya Prof. Ikhwan. Dan ini Egi dan Sam. Egi ini orang yang menemukan prasasti di hutan,” kata Prof. Ikhwan sambil mengenalkan Egi dan Sam.
”O…, Egi yang itu to.”
”Iya pak,” kata Egi sambil cengigisan memperlihatkan giginya yang masih ada sisa-sisa cabai yang tersela di giginya.
” Ya sudah.  Meet and greet-nya sudahan. Sana cepat panggilkan.”
Sesudah menunggu lama, akhirnya mreka bertemu dengan Pak Bambang di ruang tamu.
”Ya sudah kalau begitu. Nanti kalau sudah selesai menelitinya saya kabarin. Sebagai balas jasanya saya kasih cek. Kamu maunya berapa?” kata Pak Bambang sambil mengambil cek di laci kantornya.
”Ya…, terserah lah. Yang penting cukup saja,” kata Egi yang terkejut dengan omongan Pak Bambang.
”Ya sudah kalau begitu saya kasih 10 M saja ya!”
”Apa…?” kata Egi sambil menghitung bulatan-bulatan yang ditulis Pak Bambang. Memang, Egi belum pernah mendapatkan uang sebanyak itu.
Sesudah mendapatkan uang itu, Egi langsung membaginya kepada Prof. Ikhwan dan Sam.
”Sam, besok antakan aku ke kantor pemasaran Podorene, eh salah, Podomrono eh salah, ah apalah itu ya.”
”Podomoro maksutmu? Emangnya kamu mau beli rumah apa? Mahal lo kalau beli di sana!”
”O…, ya itu maksudku. Bodo ah. Kan aku kaya mendadak.”
”Hus, kamu itu, ya besok kalau aku lagi tidak ada  job.”
”Kamu tu kaya orang sibuk saja.”
”Biasalah.”
Mereka lalu menyegat taksi. Karena tidak tahu tempatnya, mereka hanya memutar-mutar keliling Jakarta. Entah sampai berapa angka di agro taksi, mereka tidak menghitungnya. Sesudah sampai, mereka malah bingung. Bukan karena tidak punya uang, tapi, karena bingung mau membeli rumah jenis apa. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membeli rumah dengan tipe paling mewah, paling elegan, dan tentunya paling mahal.
”Sam, tolong bawa kursi ini ke ruang tamu,” suruh Egi dengan wajah singa siap untuk menerkam.
”Berat ini bos.”
”Boleh kami bantu? Kelihatanya kalian dalam masalah. Oh iya, sebelumya kenalin gue.  Adhitya, dan ini temen gue Cyintia,” kata dua orang yang berpakaian layaknya pangeran dan putri di negeri dongeng, tapi, kali ini berbeda. Mereka berbicara dengan gaya yang sedikit berbeda.
”Ya boleh. Saya Egi, dan yang ini Sam,” kata Egi sambil memperkenalkan dirinya dan Sam.
Sesudah itu, mereka ngobrol ke sana-ke sini. Lama kelaman, mereka semakin akrab dan mereka sering pergi liburan bersama. Dan ternyata, Egi menaruh hati pada Cyintia, tapi belum dikatakan. Egi selalu menututi apapun yang dikatakan Cyintia. Entah disuruh mengantarkanya, hingga membelikan barang-barang yang mahal.
Entar malam anterin aku ke klub ya...! Gue lagi stres nih,” suruh Cyintia.
”Ya, ntar gue anterin loe,” kata Egi dengan logat barunya.
Siang pun berlalu, berganti dengan malam. Sang surya bergati shift dengan sang rembulan untuk menerangi bumi. Disaat itu pula, meluncurlah Egi dan Cyintia ke sebuah klub malam terkenal di kawasan Bintaro.
”Gi, cobain deh, permen ini. Enak lo,” kata Cyintia sambil memberikan bungkusan obat yang seperti permen.
Egi mudah-mudah saja menerima itu, karena itu permintaan dari wanita yang diidamkanya. ”Kok pada muter-muter sendiri ya?” gerutu Egi.
”Itu karena loe kebanyakan makan permen. Nih, minum dulu,” kata Cyintia sambil memberikan gelas yang berisi air.
”Kok asam? Tapi, enak sih, minta lagi dong!”
Egi terus, dan terus meminum air yang ternyata Whisky, dan memakan permen yang ternyata ekstasi.
Mereka pulang tepat saat  ayam jago pertama berkokok. Egi pulang dengan bau dan gaya khas orang habis mabuk. Kejadian tersebut berulang-ulang. Hal tersebut merubah sifat dan perilaku Egi yang tadinya pendiam dan sederhana menjadi glamor dan bermewah-mewah.
Pernah Sam menasehatinya. Tapi, bukanya berubah, malah menjadi-jadi kelakuannya. Tapi, kali ini Sam membulatkan tekatnya , walaupun itu harus mengorbankan dirinya.
”Gi, sebaiknya kamu meninggalkan Cyintia dan Adhit. Aku tahu, kamu cinta sama Cyintia. Ini demi kebaikanmu,” kata Sam.
”Apa urusanya sama loe? Ini kan hidup gue.
”Tapi, sejak kamu bergaul dengan mereka hidupmu jadi berubah.”
Tit... Tit... Tit.... Hp Egi pun berdering. Ternyata, itu sms dari Cyintia. Sms tersebut berisi agar Egi mengusir Sam. Demi dirinya.
”Ya sudah kalau begitu. Mungkin, kita tak sependapat lagi. Lebih baik loe pergi saja dari sini.”
”Ya sudah kalau itu maumu. Aku ikuin saja.”
Dengan segudang kekecewaan, ditambah sekilo kesedihan, Sam pergi meninggalkan sahabat baiknya, walaupun masih ada rasa mangkel di hatinya. Dia mencoba untuk tabah. Entah, dia harus pergi ke mana. Akhirnya, Sam memutuskan untuk pergi, atau kata yang paling tepatnya pulang. Ya, pulang ke rumah aslinya, rumah lamanya.
Disaat yang bersamaan, Egi diajak Cyintia dan Adhit ke klub seperti biasa. Tapi, kali ini ada yang berbeda dengan siakp Cyintia dan Adhit yang lebih baik.
”Tambah lagi coy..., ” kata Egi.
 Ya, tapi, jika kamu mau tandatangani ini.”
”Mana yang harus ditandatangani? Gue nggak tahan lagi nih....”
”Di sini.”
Setelah minum cukup banyak, Egi dibawa Cyintia ke hotel. Sementara itu, Cyintia dan Adhit pulang ke rumah Egi. Dia bingung ketika sadar ia sudah berada di kamar yang ternyata kamar hotel. Lalu ia pulang.
”Pak...,pak..., anda dilarang masuk oleh non Cyintia” suruh satpam di rumah Egi.
Non...?” kata Egi. Egi yang masih bingung mencoba menerobos barikade satpam dam membuka pintu
Alangkah kagetnya Egi ketika dia membuka pintu terpampang kedua teman barunya tersebut sedang bermesraan di atas sofa.
”Cyinti? …, Adhit? … ngapain kalian di sini? Inikan rumahku!”
”Rumahmu? Itukan dulu. Sekarang semua aset yang kamu miliki telah menjadi miliku. Kan kamu yang memberikannya padaku semalam.”
”Oh ya? Berarti selama ini, kalian hanya mengincar hartaku? Dasar licik. Aku kira kamu orang yang baik dan membuatku suka padamu. Ternyata, kalian sama buruknya dengan koruptor. Aku salah telah mengusir Sam.”
Hellooo? Inikan Jakarta. Takkan ada orang yang mau berteman sama kamu yang kampungan. Dan loe pikir gue suka sama loe? Mimpi kali ya. Mending kamu sekarang pergi dari sini, atau, aku panggilkan satpam untuk mengusir loe.
”Tidak usah. Aku sudah muak dengan kalian.”
”Ya sudah sana pergi!”
Egi pergi dengan beribu penyesalan, entah itu dari kekecewaan atas kelakuan Cyintia dan Adhit, atau karena menyesal telah mengusir Sam. Menyesal, marah, kecewa, atau apalah itu yang membuat Egi bingung. Kemana, kemana, dan kemana. Itulah lagu yang tepat untuk Egi yang tidak tahu mau pergi ke mana. Tapi, ada satu tempat yang dia ingin tuju, rumah lamanya, rumah yang telah membesarkannya. Dia berharap, Sam ada di rumah tersebut.
”Apa kamu masih bertahan dengan pendirianmu? Aku menyesal Sam. Entah dengan apa agar kau mempercayaiku lagi. Aku khilaf Sam. Aku menyesal Sam.” suara Egi memecah keheningan di rumah tersebut. Khilaf dan menyesal. Itulah kata yang terus diucapkan Egi agar Sam percaya. Entah berapa kali Egi mengucapkan kata tersebut.
Tanpa tak terduga, Sam memeluk Egi yang masih dibanjiri dengan air mata. ”Tak perlu kamu begitu. Aku tadi hanya bercanda. Kau tetaplah temanku, sahabatku, saudaraku, atau apalah itu. Walaupun kau telah mengusirku, kau tetaplah sahabat baiku. Aku percaya, bahwa yang kau lakukan tempo hari hanya karena tipu muslihat Cyintia danAdhitya.”
”Terima kasih Sam, kau telah mempercayaiku.”
Tit... Tit... Tit.... hp Egi pun berdering. Ternyata sms dari Prof. Ikhwan. Ternyata, isinya tentang isi dari prasasti. Isinya adalah: bahwa teman sejati, tidak dapat diganti dengan harta, pangkat atau pun wanita.  Teman sejati takkan meninggalkan temannya, walapun dalam keadaan sulit.

Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar