Welcome To My Blog, Don't Forget To Follow My Twitter.
Unknown

Penyesalan pasti datangnya di akhir. Kalau di awal namanya adalah kesadaran. Ya, itu adalah kalimat yang pas untuk ku. Memang, penyesalan itu rasanya sakit sekali, hampir sama dengan saat kita ditusuk, bedanya, saat kita menyesal, sakitnya bagai ditusuk oleh duri-duri masa lalu yang terus menghantui kita.menyesal memang tidak ada gunanya, karena tidak akan menyelesaikan masalah kita.
Kubuka-buka buku sejarah yang sedari tadi aku bawa. Entah saat aku makan, mau tidur, bahkan saat aku ingin BAB. Bahkan sekarang, buku sejarah merupakan ”Pacar” bagiku, karena buku sejarah selalu menemaniku kemana-mana. Tapi, entah angin dari mana, yang terbayangkan di otaku bukanlah materi tentang Kerajaan Kutai, Kerajaan Medang Kamulan, dan mengapa agama Budha masuk ke Indonesia. Tapi, yang terbayang di otaku adalah dia, dia yang membuatku hancur berkeping-keping diantara ribuan penyesalan yang tiada bertepi. Wajahnya terpampang dengan jelas di antara kata-kata sejarah.
”Kenapa sih kamu selalu ganggu aku? Kamu kan dah punya Pras? Tapi, kenapa kamu masih menghantui aku?” Gerutuku dalam hati.
Memang, menghapus memori tentang dia adalah sebuah kemustahilan dalam hidupku. Entah kenapa, aku sulit sekali untuk menggantikan sosok ”Dia” dalam otakku. Tapi, biarlah, ini pilihanku. Oh bukan, ini bukan pilihanku, tapi sebuah takdir yang pahit buatku. Takdir yang sangat membuat aku meleleh. Tapi, biarlah. Aku nggak mau terlarut-larut dalam kesedihanku.
Dengan sedikit memaksa, ku mencoba menghapus memori tentang dia, dan mencoba fokus untuk menghafal materi Sejarah yang sebanyak Gunung Himalaya itu. Entah sudah berapa jam aku menghafal materi ini, tak terhitung lah. Akhirnya, ku putuskan untuk beristirahat untuk merefreshkan pikiran di Balkon rumah.
Memandangi langit di malam hari merupakan hobiku sejak kecil. Walaupun langit hari ini mendung, tapi, ini sangatlah sama dengan suasana hatiku saat ini. Suram, mendung, dan penuh dengan emosi yang ingin diluapkan.
”Aaaarrrrgggghhhhhhh,” teriaku.
Aku memang suka berteriak dengan keras agar semua beban yang ada di hatiku menjadi plong. Memang, rumahku berada di pojok desa, sehingga tidak ada yang terganggu dengan teriakanku.
”Dah hafal kamu?” Kata Bagas yang datang secara tiba-tiba yang mengagetkanku dari lamunanku.
”Aku bingung, semua orang dengan mudah dapat Move on dari orang yang meninggalkanya, tapi, kenapa itu tidak berlaku denganku?”
”Mungkin dia orang yang pas buat kamu, sehingga kamu sulit buat lupain dia. Kamunya juga yang salah nggak bilang sama dia kalau kamu suka sama dia dari awal. Tau gini jadinya, kamu nggak bakalan nyesel kan ditinggal dia?”
”Iya sih, tapi kan aku nggak bilang sama dia karena aku takut dia ninggalin aku. Tapi, ah lupakan lah. Mending gue lanjut ngafalin Sejarah.”
”Apa salahnya mencoba?”
Mendengar kata-kata dari Bagas, hatiku pun kembali bergejolak. Galau, dilema, dan menyesal. Itulah yang aku rasakan malam itu. Ku tinggalkan Bagas tanpa rasa berdosa dan akupun berajak menuju kamar ku dan tertidur pulas.
Tengah malam,  tanpa kusadari, aku terbangun dari tidurku karena aku merasakan ada yang basah diwajahku. Bukan air liru, tapi air mataku tanpa sadar menetes, mengalir dengan sendirinya, tak tau dengan sebab apa. Tapi, malam itu, aku merasakan hatiku bergejolak. Kutarik selimut yang melingkar di kakiku untuk kembali terlelap dalam indahnya mimpi seorang remaja. Tapi, itu adalah hal yang sulit bagiku. Entah kenapa, mata ini yang selalu mudah untuk terlelap menjadi sangat sulit untuk ditutup.
Doa demi doa tak henti-hentinya terucap dari mulutku. Ku serahkan segala badanku kepada yang kuasa. Dan akhirnya, aku bisa terlelap dengan nyeyak dan terbangun dengan suara adzan subuh yang membangunkanku dari mimpi yang indah.
Sekolah merupakan tempat yang tepat untuk aku melupakan semua beban pikiran yang terus mengahantuiku selama ini. Tapi, sekolah juga merupakan tempat dimana aku dapat galau dengan cepat. Yaitu saat dia lewat di depanku. Dulu, saat berpapasan dengan dia, adalah saat dimana paling aku tunggu-tunggu. Tapi, kali ini berbeda. Aku menjadi takut jika berpapasan dengan dia. Hal itu dapat mengakibatkanku menjadi galau dengan cepat.
Akhirnya, bel untuk pelajaran sejarah pun dimulai. Saati akan mengerjakannya, lewatlah seorang bidadari yang lewat di depan kelasku. Tanpa kusadari, dengan refleks aku menatap dengan dalam bola matanya. Dan dengan itu pula, membuatku menjadi pecah konsentrasi dan membuatku menjadi malas mengerjakan. Dan akhirnya, aku gagal dalam ulangan sejarah.
Bel pulang pun menandai kekalahanku dengan yang namanya sejarah. Aku yang malas pulang tetap berada disekolah sembari menatapi anak-anak yang pulang dari lantai dua. Memang, saat itu kelasku berada di lantai dua. Di kejahuan, terlihat motor yang dulu pernah aku sukai, tapi, kali ini aku agak malas melihatnya.
Melihat teman-temanku yang pulang adalah kesukaanku. Tapi, aku sebal ketika melihat teman-temanku pulang sembari memboncengkan teman dekatnya.
”Kok belum pulang kak?” Tanya seorang yang asing bagiku.
”Iya nih dek, males aku pulangnya. Di rumah Cuma galau dek, jadi malas pulang,” belaku.
”Oh, galau kenapa kak? Pasti habis diputusin cewek nya ya?”
”Ah kamu tu apa-apaan sih dek, punya pacar aja belum og dah diputusin. Aneh. Oh iya, kenalin nama kakak...”
”Tyo kan kak?” Jawabnya dengan cepat.
”Kok tau kamu dek?”
”Tau dong, kan kakak terkenal karena pake yang ijo-ijo itu kan?”
”Ah bisa aja kamu dek, tapi, maaf ya dek, aku nggak suka sama orang yang kenal sama aku gara-gara motorku.”
”Oh ya maaf kak, aku nggak tau. Oh iya, kenalin, sampai lupa aku, nama aku ..”
Belum selesai dia memperkenalkan dirinya, dia buru-buru pergi karena dia telah dipanggil oleh temanya dengan nama Feni. Ya Feni, itu adalah namanya.
Perlahan tapi pasti, aku mulai melupakan Anggra, tapi, aku tetap menaruh hati untuknya. Kali-kali saja dia berpaling dan mau denganku. Aku sudah pernah bilang pada nya kalau aku masih ingin menunggunya. Menunggu dengan sabar dan sabar. Tapi, tak apalah, aku nggak mau menyesal untuk ke dua kalinya.
Aku mulai lupa kalau aku ini tengah galau dengan menyibukan diri dengan meihat adek kelas bermain Basket di Lapangan basket di sekolahku, sembari bergosip dengan temanku, Yuli. Semua hal yang aku dan dia tau kami bagikan satu sama lain. Dari perbincangan itu, aku tau kalau teman lebih penting dari pacar saat ini bagiku. Memang, teman ada setiap saat. Tidak seperti pacar yang meng hilang saat kita butuh, dan datang ketika dia sedih. Tapi, itulah siklus kehidupan
Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar