Penyesalan
pasti datangnya di akhir. Kalau di awal namanya adalah kesadaran. Ya, itu
adalah kalimat yang pas untuk ku. Memang, penyesalan itu rasanya sakit sekali,
hampir sama dengan saat kita ditusuk, bedanya, saat kita menyesal, sakitnya
bagai ditusuk oleh duri-duri masa lalu yang terus menghantui kita.menyesal
memang tidak ada gunanya, karena tidak akan menyelesaikan masalah kita.
Kubuka-buka
buku sejarah yang sedari tadi aku bawa. Entah saat aku makan, mau tidur, bahkan
saat aku ingin BAB. Bahkan sekarang, buku sejarah merupakan ”Pacar” bagiku,
karena buku sejarah selalu menemaniku kemana-mana. Tapi, entah angin dari mana,
yang terbayangkan di otaku bukanlah materi tentang Kerajaan Kutai, Kerajaan
Medang Kamulan, dan mengapa agama Budha masuk ke Indonesia. Tapi, yang
terbayang di otaku adalah dia, dia yang membuatku hancur berkeping-keping
diantara ribuan penyesalan yang tiada bertepi. Wajahnya terpampang dengan jelas
di antara kata-kata sejarah.
”Kenapa sih
kamu selalu ganggu aku? Kamu kan dah punya Pras? Tapi, kenapa kamu masih
menghantui aku?” Gerutuku dalam hati.
Memang,
menghapus memori tentang dia adalah sebuah kemustahilan dalam hidupku. Entah kenapa,
aku sulit sekali untuk menggantikan sosok ”Dia” dalam otakku. Tapi, biarlah,
ini pilihanku. Oh bukan, ini bukan pilihanku, tapi sebuah takdir yang pahit
buatku. Takdir yang sangat membuat aku meleleh. Tapi, biarlah. Aku nggak mau
terlarut-larut dalam kesedihanku.
Dengan sedikit
memaksa, ku mencoba menghapus memori tentang dia, dan mencoba fokus untuk menghafal
materi Sejarah yang sebanyak Gunung Himalaya itu. Entah sudah berapa jam aku
menghafal materi ini, tak terhitung lah. Akhirnya, ku putuskan untuk
beristirahat untuk merefreshkan pikiran di Balkon rumah.
Memandangi langit
di malam hari merupakan hobiku sejak kecil. Walaupun langit hari ini mendung,
tapi, ini sangatlah sama dengan suasana hatiku saat ini. Suram, mendung, dan
penuh dengan emosi yang ingin diluapkan.
”Aaaarrrrgggghhhhhhh,”
teriaku.
Aku memang suka
berteriak dengan keras agar semua beban yang ada di hatiku menjadi plong. Memang,
rumahku berada di pojok desa, sehingga tidak ada yang terganggu dengan teriakanku.
”Dah hafal
kamu?” Kata Bagas yang datang secara tiba-tiba yang mengagetkanku dari
lamunanku.
”Aku bingung,
semua orang dengan mudah dapat Move on dari orang yang meninggalkanya, tapi,
kenapa itu tidak berlaku denganku?”
”Mungkin dia
orang yang pas buat kamu, sehingga kamu sulit buat lupain dia. Kamunya juga
yang salah nggak bilang sama dia kalau kamu suka sama dia dari awal. Tau gini
jadinya, kamu nggak bakalan nyesel kan ditinggal dia?”
”Iya sih, tapi
kan aku nggak bilang sama dia karena aku takut dia ninggalin aku. Tapi, ah
lupakan lah. Mending gue lanjut ngafalin Sejarah.”
”Apa salahnya
mencoba?”
Mendengar kata-kata
dari Bagas, hatiku pun kembali bergejolak. Galau, dilema, dan menyesal. Itulah
yang aku rasakan malam itu. Ku tinggalkan Bagas tanpa rasa berdosa dan akupun
berajak menuju kamar ku dan tertidur pulas.
Tengah malam, tanpa kusadari, aku terbangun dari tidurku
karena aku merasakan ada yang basah diwajahku. Bukan air liru, tapi air mataku
tanpa sadar menetes, mengalir dengan sendirinya, tak tau dengan sebab apa. Tapi,
malam itu, aku merasakan hatiku bergejolak. Kutarik selimut yang melingkar di
kakiku untuk kembali terlelap dalam indahnya mimpi seorang remaja. Tapi, itu
adalah hal yang sulit bagiku. Entah kenapa, mata ini yang selalu mudah untuk
terlelap menjadi sangat sulit untuk ditutup.
Doa demi doa
tak henti-hentinya terucap dari mulutku. Ku serahkan segala badanku kepada yang
kuasa. Dan akhirnya, aku bisa terlelap dengan nyeyak dan terbangun dengan suara
adzan subuh yang membangunkanku dari mimpi yang indah.
Sekolah merupakan
tempat yang tepat untuk aku melupakan semua beban pikiran yang terus
mengahantuiku selama ini. Tapi, sekolah juga merupakan tempat dimana aku dapat
galau dengan cepat. Yaitu saat dia lewat di depanku. Dulu, saat berpapasan
dengan dia, adalah saat dimana paling aku tunggu-tunggu. Tapi, kali ini
berbeda. Aku menjadi takut jika berpapasan dengan dia. Hal itu dapat
mengakibatkanku menjadi galau dengan cepat.
Akhirnya, bel
untuk pelajaran sejarah pun dimulai. Saati akan mengerjakannya, lewatlah
seorang bidadari yang lewat di depan kelasku. Tanpa kusadari, dengan refleks
aku menatap dengan dalam bola matanya. Dan dengan itu pula, membuatku menjadi
pecah konsentrasi dan membuatku menjadi malas mengerjakan. Dan akhirnya, aku
gagal dalam ulangan sejarah.
Bel pulang pun
menandai kekalahanku dengan yang namanya sejarah. Aku yang malas pulang tetap
berada disekolah sembari menatapi anak-anak yang pulang dari lantai dua. Memang,
saat itu kelasku berada di lantai dua. Di kejahuan, terlihat motor yang dulu
pernah aku sukai, tapi, kali ini aku agak malas melihatnya.
Melihat teman-temanku
yang pulang adalah kesukaanku. Tapi, aku sebal ketika melihat teman-temanku
pulang sembari memboncengkan teman dekatnya.
”Kok belum
pulang kak?” Tanya seorang yang asing bagiku.
”Iya nih dek,
males aku pulangnya. Di rumah Cuma galau dek, jadi malas pulang,” belaku.
”Oh, galau
kenapa kak? Pasti habis diputusin cewek nya ya?”
”Ah kamu tu
apa-apaan sih dek, punya pacar aja belum og dah diputusin. Aneh. Oh iya,
kenalin nama kakak...”
”Tyo kan kak?” Jawabnya
dengan cepat.
”Kok tau kamu
dek?”
”Tau dong, kan
kakak terkenal karena pake yang ijo-ijo itu kan?”
”Ah bisa aja
kamu dek, tapi, maaf ya dek, aku nggak suka sama orang yang kenal sama aku
gara-gara motorku.”
”Oh ya maaf
kak, aku nggak tau. Oh iya, kenalin, sampai lupa aku, nama aku ..”
Belum selesai
dia memperkenalkan dirinya, dia buru-buru pergi karena dia telah dipanggil oleh
temanya dengan nama Feni. Ya Feni, itu adalah namanya.
Perlahan tapi
pasti, aku mulai melupakan Anggra, tapi, aku tetap menaruh hati untuknya. Kali-kali
saja dia berpaling dan mau denganku. Aku sudah pernah bilang pada nya kalau aku
masih ingin menunggunya. Menunggu dengan sabar dan sabar. Tapi, tak apalah, aku
nggak mau menyesal untuk ke dua kalinya.
Aku mulai lupa
kalau aku ini tengah galau dengan menyibukan diri dengan meihat adek kelas
bermain Basket di Lapangan basket di sekolahku, sembari bergosip dengan
temanku, Yuli. Semua hal yang aku dan dia tau kami bagikan satu sama lain. Dari
perbincangan itu, aku tau kalau teman lebih penting dari pacar saat ini bagiku.
Memang, teman ada setiap saat. Tidak seperti pacar yang meng hilang saat kita
butuh, dan datang ketika dia sedih. Tapi, itulah siklus kehidupan
0 komentar:
Posting Komentar